Kasus Hukum yang Menjerat Kepala Desa
VEGASHOKI88 – Kasus hukum yang menjerat Syahyunie, Kepala Desa Tempayung, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, kini berada di ujung tanduk. Ia divonis enam bulan penjara atas tuduhan sebagai provokator dalam aksi pemortalan lahan milik PT Sungai Rangit. Lahan tersebut oleh warga diakui sebagai wilayah adat mereka. Vonis ini memicu respons luas, dengan puluhan warga dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi Kades Tempayung menggelar aksi damai menuntut pembebasan Syahyunie yang tengah menempuh proses banding.
Tuduhan Provokator dan Aksi Pemortalan
Syahyunie harus berurusan dengan hukum karena disebut provokator pada aksi pemortalan lahan di PT Sungai Rangit, Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4, Desa Tempayung. Aksi pemortalan ini dilakukan warga sebagai bentuk protes atas ketimpangan pengelolaan lahan dan tuntutan pembagian plasma. Ironisnya, tindakan kolektif ini justru ditanggapi dengan proses hukum terhadap satu sosok, yaitu kepala desa mereka sendiri.
Kejanggalan dalam Proses Hukum: Perspektif Koalisi
Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi Kades Tempayung, Agung Sesa, menyatakan bahwa dugaan kriminalisasi terhadap Kades Tempayung terlihat dari beberapa aspek hukum. Pertama, penuntut umum dianggap mengabaikan bukti dan argumentasi pleidoi, hanya mengulang dakwaan tanpa menyentuh substansi pembuktian. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip fair trial, karena terdakwa tidak mendapatkan tanggapan hukum yang layak.
Klaim Kerugian dan Standar Pembuktian
Kedua, menurut Agung, kerugian yang disandarkan kepada sang kades hanya berdasarkan klaim sepihak. Penuntut umum tidak melibatkan Kantor Akuntan Publik atau Kantor Jasa Penilai Publik dalam menilai kerugian PT Sungai Rangit, hanya berdasarkan testimoni internal (testimonium de auditu). Ini berpotensi melanggar standar pembuktian “beyond reasonable doubt” sesuai Pasal 183 KUHAP.
Sengketa Perdata dan Implikasi Pidana
Ketiga, penasihat hukum melalui pengajuan keberatannya menyatakan bahwa perkara ini seharusnya adalah sengketa perdata dan bahkan memenuhi unsur prejudicieel geschil, mengingat status lahan adat belum selesai secara hukum. Namun, keberatan ini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, meskipun memiliki implikasi besar terhadap legitimasi unsur pidana.
Tindak Pidana Kolektif dan Pasal 55 KUHP
Selain itu, Agung menilai bahwa tindak pidana yang didakwakan bersifat kolektif, namun hanya ditimpakan kepada satu orang. Hal ini dianggap bertentangan dengan logika hukum pidana Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan Pidana. Aksi yang didakwakan mencakup ritual adat kolektif yang dilakukan oleh masyarakat luas, di wilayah adat, dan dilakukan secara bersama-sama, namun hanya satu terdakwa yang diproses tanpa pembuktian utuh tentang keterlibatan bersama (deelneming).
Status Masyarakat Adat dan Pengakuan Hukum
Status pengakuan masyarakat adat desa setempat yang tidak sah karena tidak terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) juga menjadi masalah. Agung menekankan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat tidak hanya bergantung pada BRWA, dan ini bukan syarat yuridis formal eksklusif. Alasan hakim dan jaksa menolak pembelaan karena desa tidak terdaftar di BRWA dan spanduk aksi tidak mencantumkan kata ‘masyarakat adat’ dianggap tidak tepat.
Restorative Justice vs. Pemenjaraan
Meskipun hakim menyatakan bahwa terdakwa bertindak atas dasar membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma, proses hukum tetap berjalan. Agung berpendapat bahwa hal ini seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk pertimbangan restorative justice, bukan pemenjaraan.
Kronologi dan Penahanan Syahyunie
Sebelumnya diketahui, Syahyunie dijemput polisi di Bandara Iskandar Pangkalan Bun pada Jumat (27/9/2024) saat pulang dari perjalanan dinas. Ia dibawa ke Polres Kotawaringin Barat, diperiksa, dan dijadikan tersangka. Meskipun tidak langsung ditahan atas permintaan Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat dan jaminan Camat Kotawaringin Lama, status tersangka tetap melekat. Seminggu setelah Pilkada, pada Kamis (5/12/2024), kasus Syahyunie dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat, dan ia ditetapkan sebagai tahanan rumah.
Reputasi dan Perlakuan Hukum
Reputasi baik Syahyunie sebagai seorang Kades dan bertahun-tahun sebagai Sekdes, serta rekam jejaknya yang tidak pernah melanggar hukum, tidak membuatnya mendapatkan perlakuan yang lebih pantas. Sebuah gelang pelacak dengan teknologi GPS bahkan dipasang di pergelangan kakinya oleh Kejaksaan. Kasus ini menyoroti betapa rentannya posisi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan wilayah adat.