Suasana Hari Raya yang Berbeda
VEGASHOKI88 – Suasana Hari Raya Idul Fitri di Tarakan selalu dipenuhi kebahagiaan dan kebersamaan. Namun, bagi Sahreni (60), momen yang seharusnya dipenuhi dengan silaturahmi dan kumpul keluarga terasa sangat berbeda.
Di tengah hingar bingar perayaan, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai penyapu jalan. Pemandangan Sahreni menyapu di sepanjang jalan, terutama di area taman depan Pelabuhan Malundung, menimbulkan banyak pertanyaan.
Dedikasi yang Tak Terbantahkan
Ketika ditanya mengapa ia memilih bekerja daripada merayakan hari besar bersama keluarga, Sahreni hanya mengangguk dan tersenyum tipis. “Sudah kemarin hari raya,” katanya, menggambarkan dedikasi dan tanggung jawab yang diembannya.
Ia menjelaskan bahwa keputusannya untuk tetap bekerja di hari raya bukan hanya soal uang semata, tetapi juga karena rasa tanggung jawabnya untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Perjuangan Seorang Janda
Sahreni, yang baru dua tahun ini berprofesi sebagai penyapu jalanan setelah suaminya meninggal,
mengaku bahwa pekerjaan ini adalah satu-satunya cara untuk menghidupi dirinya dan anaknya yang juga berstatus janda.
Ia menjalani pekerjaan ini dengan penuh kesadaran akan tantangan yang dihadapinya. “Saya dan anak sama-sama janda,” ungkapnya. Ia memilih bekerja meski berisiko kehilangan kesempatan berkumpul dengan keluarga demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan yang Sulit
Dalam situasi seperti itu, Sahreni merasa tak memiliki banyak pilihan. Upah yang ia peroleh di hari biasa
berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 60.000, namun pada hari raya, ia bisa mendapatkan hingga Rp 100.000 dalam waktu kerja yang relatif singkat.
“Apa yang aku makan kalau tidak ada kerjaanmu,” katanya dengan nada putus asa, menggambarkan betapa beratnya hidup yang dijalani.
Harapan dan Realitas
Walaupun Sahreni bersyukur atas adanya BPJS Kesehatan yang bisa membantunya apabila sakit, ia tidak bisa menghindari realitas pahit mengenai gaji dan perhatian dari pemerintah.
Sebagai penyapu jalan, gaji bulanan Sahreni hanya sekitar Rp 1.700.000, yang harus ia gunakan untuk membayar kontrakan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Cukup tidak cukup, yang penting ada buat saya makan,” ujarnya, suaranya bergetar, mengisyaratkan betapa sulitnya situasi yang dihadapi.
Tetesan Air Mata
Ketika ia ditanya lebih dalam mengenai perhatian pemerintah, Sahreni terdiam, matanya berkaca-kaca. Air
mata yang perlahan menetes dari sudut matanya menjelaskan semua kesedihan dan beban hidup yang harus ia pikul setelah ditinggal suami.
Dalam kesedihan dan kehilangan, Sahreni terus berjuang demi masa depan yang lebih baik untuk dirinya dan anaknya, meskipun terasa sangat berat.
“Semenjak suami saya meninggal, aku lah yang ganti,” tuturnya terisak, menandakan keteguhan jiwa di tengah kesulitan hidup.