Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI): Investasi China dan Kontroversi Lingkungan

Proyek Terambisius Indonesia, Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), Menyimpan Sisi Gelap Investasi China

VEGSHOKI88 KIPI : Proyek Hijau yang Kontroversial Proyek terambisius Indonesia, Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), memiliki sisi gelap dari investasi China di dalamnya.

Sementara proyek ini dipromosikan sebagai mercusuar pengembangan industri hijau di Asia Tenggara, yang melambangkan komitmen Indonesia terhadap pertumbuhan berkelanjutan, proyek ini juga

menimbulkan kekhawatiran signifikan di kalangan warga lokal, aktivis lingkungan, dan para ahli.

Meskipun Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) memuji KIPI sebagai “area industri hijau terbesar di

dunia,” narasi kompleks tentang eksploitasi sumber daya, kerusakan lingkungan, dan gejolak sosial, yang sebagian besar dipicu oleh investasi China, sedang terungkap.

Keterlibatan China dan Strategi Ekonomi


KIPI dianggap sebagai proyek kunci dalam hubungan China-Indonesia, dan secara khusus disebutkan

dalam pernyataan bersama tentang pendalaman kerjasama strategis menyusul pertemuan Widodo dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing tahun lalu.

Keterlibatan China dalam KIPI merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia yang kaya, terutama dalam konteks Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).

Perusahaan-perusahaan China, termasuk Tsingshan Holding Group dan Taikun Petrochemical, telah

berinvestasi besar-besaran dalam proyek ini, menyediakan dana yang diperlukan untuk mendorong kemajuannya.

Namun, masuknya modal China ini menimbulkan kekhawatiran tentang dominasi ekonomi dan erosi kedaulatan lokal.

Kepentingan Lokal dan Masalah Hak Pekerja


Menurut laporan South China Morning Post (SCMP), rasa tidak puas semakin berkembang di kalangan penduduk lokal karena pengaruh kepentingan China yang semakin besar.

Banyak warga lokal mengeluh bahwa proyek dan para pekerjanya diprioritaskan di atas hak-hak mereka.

Institut Nugal, sebuah think tank yang telah mengumpulkan data tentang proyek ini, mengonfirmasi

bahwa Tsingshan Holding Group dan Taikun Petrochemical terlibat dalam KIPI, bersama dengan dua kontraktor China,

China State Construction Engineering Corporation dan China Railway Engineering Consulting Group.

Merah Johansyah, koordinator riset dan manajemen di Nugal, menyatakan bahwa KIPI perlu diaudit karena kurangnya transparansi.

Dia mengutip beberapa masalah hak pekerja, termasuk tidak adanya kontrak yang layak, membuat

pekerja lokal rentan terhadap pembayaran yang tidak sesuai dan pemecatan sewenang-wenang. Institut ini telah menyerukan audit untuk menjelaskan bagaimana pekerja

China dapat masuk ke Indonesia dengan bebas dan menerima gaji lebih tinggi, sementara pekerja lokal tidak memiliki kontrak formal.

Meskipun tidak ada data resmi mengenai jumlah pekerja China di KIPI, warga lokal memperkirakan bahwa sudah ada ratusan pekerja di lokasi.

Praktik Koersif dan Pengambilalihan Tanah


Situasi semakin diperburuk oleh praktik-praktik yang tidak transparan dan koersif yang diterapkan oleh banyak perusahaan China yang terlibat dalam KIPI.

Penduduk lokal melaporkan adanya pengambilalihan tanah secara ilegal, dengan beberapa di antaranya

dipaksa menjual tanah mereka dengan harga jauh di bawah nilai pasar di bawah ancaman tindakan hukum.

Aktivis dari Asosiasi Lingkaran Hutan Berkelanjutan telah mendokumentasikan kasus-kasus di mana

perusahaan menempatkan mata-mata di komunitas untuk mengintimidasi dan membungkam penentangan.

Praktik-praktik ini menyoroti sisi gelap investasi China di Indonesia, di mana keuntungan ekonomi dikejar

dengan mengorbankan hak asasi manusia dan integritas lingkungan.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Intimidasi


Yosran Efendi, manajer kampanye di Asosiasi Lingkaran Hutan Berkelanjutan, mencatat bahwa warga lokal

yang menolak untuk melepaskan tanah mereka terlalu takut untuk mendekati polisi atau pengadilan karena intimidasi dari perusahaan.

Laporan dari Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah telah menerima banyak tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terkait Proyek Strategis Nasional seperti KIPI.

Pada bulan Juni, Komnas HAM mendokumentasikan setidaknya 1.675 kasus pelanggaran hak asasi manusia selama tiga tahun terakhir, terutama terkait sengketa tanah dan kerusakan lingkungan.

Ketidakpuasan Terhadap Perlakuan Istimewa Pekerja China


Ada juga rasa ketidakpuasan yang meluas di kalangan penduduk lokal terhadap apa yang mereka anggap sebagai perlakuan istimewa terhadap pekerja China.

Misalnya, seorang mantan nelayan menyatakan frustrasi bahwa warga lokal dipaksa untuk belajar bahasa China, daripada orang China yang belajar bahasa lokal di Indonesia.

Sentimen ini mencerminkan ketidaknyamanan yang lebih luas di kalangan orang Indonesia tentang pengaruh yang semakin besar dari pekerja dan perusahaan China di negara mereka.

Ketergantungan pada Batubara dan Greenwashing


Meskipun dipasarkan sebagai inisiatif hijau, KIPI sangat bergantung pada batubara – bahan bakar fosil yang terkenal dengan dampak lingkungannya. Secara mengejutkan,

China tetap diam tentang isu ini, kemungkinan karena masih sangat bergantung pada batubara untuk kebutuhan tenaga listriknya sendiri.

Diamnya China menunjukkan di mana kepentingan mereka berada; tampaknya mereka kurang peduli tentang lingkungan global dan lebih fokus pada pengamanan sumber daya.

Seperti dilaporkan oleh Bloomberg, sebuah pembangkit listrik berbahan bakar batubara berkapasitas 1,06

gigawatt sedang dibangun untuk menggerakkan smelter aluminium Adaro Minerals Indonesia senilai $2 miliar di KIPI, yang dijadwalkan akan mulai beroperasi pada tahun 2025.

Ketergantungan pada batubara ini bertentangan dengan esensi dari “taman industri hijau” dan

mengungkapkan proyek ini sebagai contoh utama dari greenwashing, di mana manfaat lingkungan sangat dibesar-besarkan untuk menutupi kerusakan ekologi yang mendasarinya.

Dampak Lingkungan dan Konsumsi Sumber Daya


Dampak lingkungan dari KIPI melampaui ketergantungannya pada batubara.

Menurut laporan JATAM dan WRM, proyek ini akan mengonsumsi air sebanyak 39.450.560 meter kubik

per tahun, sebagian besar diambil dari sungai-sungai lokal seperti Pindada dan Mangkupadi.

Ini setara dengan 1,5 kali konsumsi air tahunan dari 700.000 penduduk Kalimantan Utara.

Selain itu, KIPI diperkirakan akan membuang 248.440 meter kubik limbah cair setiap empat jam ke

sungai-sungai ini, mengancam ekosistem akuatik dan mata pencaharian komunitas yang bergantung padanya.

Implikasi Geopolitik dan Seruan untuk Aksi Global


Keterlibatan China dalam KIPI, melalui investasi besar dan pengaruhnya, menyoroti dimensi geopolitik dan ekonomi dari eksploitasi sumber daya di Indonesia.

Sangat penting bagi komunitas global untuk menyuarakan kekhawatiran kepada pemerintah Indonesia tentang implikasi dari faktor China.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *